Kekerasan, menyedihkan...

Pada majalah TEMPO Edisi 12 - 18 Juli 2004, terdapat laporan langsung Romy Fibri (wartawan TEMPO) dari Irak. Dalam laporannya, Romy menceritakan bagaimana kondisi real Irak serta masyarakatnya pasca digulingkannya pemerintahan Saddam Husein (yang disebut-sebut sebagai pemimpin yang diktator) oleh Amerika dan sekutunya.

Dalam tulisan tersebut, masyarakat Irak bisa dikatakan tiba-tiba berubah menjadi "Pro-Saddam" (di situ diilustrasikan bagaimana seorang warga Baghdad merasa iba ketika melihat Saddam yang tengah berada di pengadilan pada layar televisi). Warga tersebut berpendapat bahwa Bush (presiden AS, George W. Bush)-lah yang semestinya diadili, bukan Saddam. Padahal, kabarnya warga tersebut sempat menjadi korban "kesewenang-wenangan" pemerintahan Saddam, hanya karena ia menjadi penganut Syiah. Saya bisa simpulkan, setidaknya ada sebagian rakyat Irak yang merasa, jatuhnya Saddam tidak begitu diharapkan. Atau, ternyata Irak pasca Saddam ternyata tidak seperti yang mereka bayangkan, sehingga komentar tadi terucap.

Kesimpulan saya ini bisa diperkuat dengan cerita tentang pengalaman Romy pada saat Ia berkunjung ke sebuah kedai. Ceritanya, pada suatu ketika Romy berkunjung ke sebuah kedai untuk mengisi perutnya sekaligus mencari gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi masyarakat Irak dengan berada di tempat yang memungkinkan bagi dirinya untuk melakukan interaksi dengan warga Irak.

Namun, kehadirannya di kedai tersebut sungguh diluar apa perhitungannya. Beberapa orang didalam kedai itu malah membalas sapaan Romy dengan pelototan. Sambutan yang cukup menegangkan syaraf, saya pikir. Well, singkat kata, Romy kemudian memesan salah satu menu makanan dan bangkit meninggalkan kursinya untuk pergi ke kamar kecil.

Sekembalinya dari kamar kecil, tiba-tiba suasana berubah menjadi sangat mendebarkan. Ketika dia bermaksud untuk duduk kembali di kursinya, seorang supir mobil carteran tiba-tiba menarik tangannya dan mengajaknya untuk segera berlari dan masuk ke mobil yang berada di luar kedai tersebut.

Dalam adegan layaknya film aksi tersebut, si supir (kalau tidak salah, namanya Ahmad) menjelaskan apa yang sedang terjadi kepada Romy menggunakan Bahasa Inggris yang terbata-bata. Menurutnya, di dalam kedai tersebut terdapat beberapa lelaki dari kelompok milisi(?) pro-Saddam. Ahmad khawatir Romy akan diculik oleh kelompok tersebut untuk dimintai tebusan. Tapi, Romy bingung. Bukankah Ia adalah seorang muslim yang berasal dari Indonesia (yang notabene merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia)? Rupanya Ahmad berpendapat lain. Menurutnya, kelompok milisi tersebut tidak peduli apakah Romy beragama Islam atau Kristen atau lainnya, maupun asal muasalnya. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana penyanderaan Romy bisa mendatangkan uang bagi mereka.

Setelah mencoba memahami hal tersebut, Romy bertanya kepada Ahmad, si supir. Kenapa si supir membantunya kabur? Tanpa basa-basi Ahmad menjawab. Kira-kira begini, jika Romy ditahan orang-orang tersebut, Ia (Ahmad) tidak akan kebagian "rezeki" dari hasil pembayaran sewa mobilnya. Jawaban si Ahmad tesebut, saya yakin membuat bulu kuduk Romy merinding... Tidakkah menyedihkan?

Kondisi mayarakat Irak yang saat ini begitu merana, miskin, sehingga membuat warganya menjadi orang-orang yang memanfaatkan kekerasan untuk "survive" di tengah ketidakpastian yang masih menyelimuti Irak.

Perlukah kita bertanya, "adakah mereka memiliki hati" ketika kita melihat siaran televisi yang memperlihatkan sebuah kelompok bersenjata yang menyandera seorang warga sipil?

Bukankah kemelaratan yang mungkin menerpa mereka saat ini --yang mungkin mendasari aksi yang mereka lakukan-- tidak didasari pada sebuah kesediaan sukarela? Pemboman, pembunuhan, akan terus berlanjut. Nyawa semakin tak berarti, karena kebutuhan perut menjadi hal yang utama...

pindahan dari: bitra.tblog.com