Jakarta Malam Itu
Dua malam lalu, dalam perjalanan pulang dari kantor, sekitar jam 7 malam, ban motorku terasa bergoyang ketika mendaki flyover putaran ke arah Senayan. Setelah menepi, ternyata ban belakang motor bocor. Aku terpaksa turun dan mulai mendorong motor sambil berpikir di mana bisa mendapatkan tukang tambal ban di sekitar situ. Yang agak lucu, aku terkena musibah di lokasi tidak jauh tempat seorang kawan terkena musibah di malam sebelumnya (motornya terpeleset setelah hujan ringan, dan sempat terguling beberapa kali, syukurnya kawanku itu tidak mendapat cedera serius).
Di daerah Senayan sekitar hotel Mulia, setahuku (sok tahu!) tidak ada tukang tambal ban. Dan aku membuat asumsi bahwa aku akan menemukan tukang tambal ban di sekitar Pal Merah. Karena aku harus menyeberang jalan untuk menuju ke sana, maka berdiam di tepi jalan sambil menunggu lalu lintas jam bubaran kantor untuk menyepi tampak seperti hal yang patut dicoba. Setelah beberapa menit, aku sadar bahwa lalu lintas ini tidak akan menjadi sepi dalam waktu dekat, yang ada malah makin ramai.
…
Hampir putus asa karena tak dapat celah untuk menyeberang, aku melanjutkan memapah motor sambil berharap mendapat pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Entah apa. Badan makin gerah, keringat mulai mengucur deras, kepala yang terbungkus helm mulai terasa sakit. Pikiranku sudah ingin berada di rumah.
Setelah beberapa menit lagi berlalu, seorang pengendara motor melambat dan menepi di depanku sambil bertanya, “kenapa, pak?” Aku yang masih agak kesal, menjawab dengan senyum ketus sambil melalu laki-laki yang bertanya itu. “Bocor ban, pak.” Aku yakin tidak ada yang bisa diperbuat laki-laki itu untuk membantuku saat ini. Aku tidak melambat. Kakiku yang mulai pegal malah meminta untuk terus berjalan.
“Oh, saya kira habis bensin. Tadinya mau saya bantu dorong,” ujarnya yang sekarang ada di samping belakang. Haduh, langsung ada rasa sesal dengan sikap ketus pada orang yang tak kukenal itu. Tapi aku terus berjalan. “Makasih, pak,” ujarku berharap Ia tidak melihat kebrengsekan sikap laki-laki tak tahu diri ini.
Meski tak terbantu, dalam hati aku berucap syukur masih ada orang yang mau membantu orang lain yang tidak dikenalnya. Di jam lalu lintas mendekati jahanam pula.
Makin pegal, kakiku minta istirahat. Sambil memandangi lalu lintas yang makin garang, aku berdiri di samping motor sambil ketak-ketik di handphone untuk mengabari grup anak nongkrong kantor. “Ban motor aing bocor, euy.” Kira-kira begitu isinya. Tapi bukan itu yang kuketik. Dan aku mulai mendorong lagi.
Tak sampai lama, seorang ibu dengan motor matik menghampiri. “Kenapa, mas?” “Bocor ban, bu,” ujarku. Kali ini dengan nada lebih ramah. Si ibu menunjuk ke arah perempatan sambil bicara tidak jelas di tengah bising lalu lintas. “Kenapa, bu?” tanyaku dengan dahi mengerut. Tampangku saat itu pasti jelek banget. Konon lebih jelek dari biasanya. Mungkin.
“Di depan, dekat halte ada tambal ban. Ke arah kiri,” kata si ibu sambil mematut helmnya yang agak longgar. “Oh di depan, ya? Oke, terima kasih, bu.” Aku tersenyum agak sempoyongan. Si ibu pamit pergi. Syukur keduaku malam itu.
Lega bukan main, tak jauh dari perempatan memang ada plang kayu bertulis “tambal ban”. Ini bukti konkrit bahwa tidak semua ibu-ibu bermotor matik menyesatkan.
***
Di samping plang kayu itu ada seorang laki-laki berdiri. Matanya memerhatikanku yang sedari tadi mencari-cari sesuatu. Tadinya kupikir ini orang mau ngajak berantem, tahunya setelah kutanya, dialah tukang tambal bannya.
Tukang tambal ban ini menurutku tidak seperti tipikal tukang tambal ban yang biasa kutemui. Badannya lumayan tegap, rambutnya cepak, wajahnya kalau kutebak seperti orang Indonesia Timur (tidak ada maksud berpretensi negatif, hanya saja aku belum pernah ketemu tukang tambal ban orang timur), kaos yang dipakainya cukup bersih, bercelana jeans, dan memakai sepatu. Jujur saja, sepertinya ini tukang tambal ban paling rapih yang pernah kutemui.
Dengan penampilan seperti itu, jujur saja tadinya aku ragu. Apa bisa orang berpenampilan “serapih” ini menambal ban? Jangan-jangan… ini bosnya tukang tambal ban.
Tak lama si abang ini mulai membongkar ban motorku dan memeriksa karet dalamnya. Ia menyeret pompa angin (astaga, ini kayaknya pompa ban sepeda) dan mulai memompa ban untuk memeriksa kebocoran. Perlu beberapa kali pompa untuk menyelesaikan pemeriksaan karena ban itu mengempis cukup cepat.
Aku coba menawarkan bantuan menekan gagang pompa, tapi rupanya aku tinggal kepayahan dengan sisa tenaga yang dipakai mendorong motor tadi. Si abang memompa tanpa kesusahan, tak ada kesan lelah maupun keluh di wajahnya. Akhirnya, hasil analisa si abang tambal ban, ada dua lubang. Yang satu kira-kira sebesar ujung jarum, satu lagi hampir sebesar pentul korek api.
Dengan kepala masih terasa cenat-cenut, aku akhirnya memutuskan untuk ganti ban dalam. Si abang dengan cukup cekatan mengganti ban dalam baru itu, menambahkan lapisan karet ban bekas, dan memompa penuh (dengan pompa angin ban sepeda tadi) sebagai finishing dari tugasnya saat itu.
Done. Ban belakang motorku telah segar bugar kembali. Setelah kubayar, aku mengucap syukur ketiga. “Terima kasih, bang,” ujarku pamit.
Di malam yang singkat sekaligus panjang itu, aku merasa menyaksikan pelajaran berharga. Pompa angin ban sepeda. Tak pernah aku mengira ada orang yang cukup nekat menjadikannya alat utama untuk usaha tambal ban. Terlebih, si abang yang cukup rapih itu tidak tampak seperti tukang tambal ban. Saking asyiknya memerhatikan Ia melakukan pekerjaannya, aku malah tak sempat bertanya apa-apa.
Terima kasih dan hormatku untuk orang-orang tanpa nama yang masih menghiasi Jakarta dengan kasih, optimisme dan daya juang. You rule!
***
Sebelumnya diterbitkan di URL: https://bitra.wordpress.com/2017/07/25/jakarta-malam-itu/
Comments
Post a Comment