Menolak yang Fasis

Ketika melihat buku Mein Kampf-nya Hitler di toko buku Gramedia, saya terkejut. Dalam hati saya berkata, "Edan. Ngapain buku itu ada di sini?"


Bisa jadi Hitler adalah tokoh paling dibenci pada sejarah manusia modern. Si fasis Hitler tidak hanya menyebarkan kebencian terhadap kaum semit, tapi ia juga "mengekspresikan"-nya dengan melakukan pembinasaan sistematis bangsa Yahudi.

Meskipun bangsa Indonesia tidak memiliki suatu keterkaitan langsung dengan peristiwa genosida yang dilakukan Hitler dan Nazi, saya tetap tidak mengerti mengapa simbol swastika Nazi yang bersinonim dengan Hitler bisa dengan cukup mudah dilihat di banyak tempat di Bandung.

Saya ingat pernah melihat seorang anak SMA yang menempelkan emblem swastika di bagian belakang tasnya. Lalu ada juga tukang becak (?) yang mendekor becaknya dengan logo itu. Gambar-gambar ukuran besar bergambar Hitler dengan fascist salute-nya juga pernah saya lihat dipampang penjual poster jalanan di Cihampelas. Kalau orang bertato-swastika Nazi di Bandung, untungnya belum pernah saya lihat. Semoga saja tidak akan pernah terjadi.

Bisa jadi banyak alasan kenapa banyak orang dengan mudah menggunakan logo swastika dengan sembarangan. Di antaranya adalah ketidaktahuan dan kebebalan.

Kembali pada soal buku itu, saya termasuk orang yang meskipun memiliki sebuah perasaan kontra-kebencian pada Hitler dan pemikirannya, tapi juga menyimpan kepenasaran pada isi "buku pegangan" kaum fasis itu.

Akhirnya saya membeli buku itu, walaupun saya belum benar-benar membacanya. Bukan semata kemalasan membaca buku, melainkan ada rasa mual ketika saya harus "bersemangat" membacanya, meski demi alasan hanya untuk tahu isi pikiran Hitler.

Soal terbitnya terjemahan buku ini di Indonesia, seorang dosen asing di Fakultas Filsafat Unpar (dosennya Maulida) pernah menyampaikan keterkejutannya. Si dosen yang berkewarganegaraan Belanda itu merasa aneh kenapa buku "berbahaya" seperti Mein Kampf dibiarkan terbit dan diperjualbelikan secara bebas. Padahal, di Eropa buku seperti ini tidak akan mungkin bisa didapatkan dengan mudah di toko buku. Setidaknya seorang yang ingin membacanya perlu ke perpustakaan. Dan mungkin perlu berbekal alasan yang cukup bisa diterima, seperti untuk kepentingan akademik (riset).

Tapi saya pikir, selain karena bangsa Indonesia toh memang tidak pernah benar-benar merasa "tersakiti" oleh Hitler, adalah ignorance yang membuat banyak orang Indonesia menelan mentah-mentah citra-citra Hitler, Nazi, swastika, dan kawan-kawannya. Dan karenanya juga (bisa dikatakan) orang-orang yang menggunakan simbol-simbol tersebut tidak menggunakannya dengan sebuah kesadaran penuh sejarah dan politik.

Ketika dipikir sekali lagi, benarkah buku-buku berbahaya seperti Mein Kampf perlu dilarang beredar di Indonesia? Rasa tak sabar menggoda saya untuk segera menjawabnya dengan "ya". Tapi tidakkah saya merasa sebagai seorang yang mencintai kegiatan berpikir? Jika memang begitu, lebih-lebih Mein Kampf adalah sebuah produk pikiran yang ditulis dalam bentuk buku, maka lebih baik kita perlu memperdebatkan kembali buku semacam apa yang bisa dikategorikan 'berbahaya'. Lalu buku 'berbahaya' semacam apa yang perlu dibatasi peredarannya dan mana yang tidak.

Kita tahu betul bahwa di Indonesia sebuah pelarangan buku bisa dengan mudah menyulut aksi vandalisme massa. Aksi sweeping toko buku sampai perampasan dan pembakaran buku terjadi berulang kali akibat kekhawatiran massa akan pengaruh buku-buku tersebut. Padahal, tidak banyak (untuk tidak menyebut "tidak ada") pelaku pembakaran buku-buku 'berbahaya' atau 'terlarang' itu yang tahu se-berbahaya apa isi buku tersebut.

Aksi kekerasan yang diakibatkan ketidakbebasan berpikir di Indonesia sudah sering terjadi, baik pada buku-buku yang dilarang secara resmi oleh negara melalui Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM, serta BIN (?), maupun yang "dicap sebagai terlarang" oleh berbagai kelompok kecil masyarakat.

Sudah sangat jelas bahwa banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa menyikapi perbedaan pendapat atau pemikiran secara beradab. Masih sedikit pula intelektual yang tergerak memberikan contoh pada masyarakat awam tentang bagaimana menghadapi ketidaksepakatan, atau tentang bagaimana tulisan harus dihadapi dengan tulisan, argumen dilawan dengan argumen, pemikiran harus dilawan balik dengan pemikiran.

Stephen M Walt, kolumnis Foreign Policy mengatakan soal bagaimana cara menyikapi buku Mein Kampf:
... the best way to deal with a book like Mein Kampf is to expose it to light, demolish its "arguments," and remind everyone where Hitler's world-view ultimately led. Apart from its obvious xenophobia and anti-Semitism, the book is filled with historical falsehoods, bogus prescriptions and sophomoric attempts at philosophy. If you want fascism to remain a marginalized social phenomenon, allowing qualified historians to dissect Hitler's ideas is a better antidote than censorship.
Dikutip dari artikel "How to discredit Mein Kampf"
Tulisan Walt ada benarnya. Jika kita menganggap sebuah pemikiran bisa membahayakan umat manusia, kenapa tidak membuat sebuah arena perdebatan ilmiah antara para sejarawan, filsuf, dan pemikir politik yang kompeten untuk mengkaji dan "menghantam" pemikiran tersebut? Dengan begitu saya kira kekeliruan fakta sejarah atau sesat pikir dari pemikiran itu bisa diantisipasi sebelum "meracuni" pikiran masyarakat luas. Sehingga masyarakat bisa turut menikmati sebuah perdebatan dialektis yang mencerdaskan. Dengan begitu budaya adu otot dalam rangka memperebutkan "kebenaran" bisa lambat laun ditinggalkan.

Tidak hanya mengenai buku atau secara spesifik buku Mein Kampf yang ditulis Hitler. Rasanya kita perlu membudayakan perlawanan melalui argumen dan pemikiran tandingan untuk menyikapi berbagai hal yang tidak kita sepakati dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak sepakat dan khawatir akan pengaruh faham komunis misalnya, mengapa tidak berargumen soal bagaimana faham komunis sudah semestinya masuk museum? Tidakkah jagad internet menyimpan banyak sumber tulisan ilmiah yang bisa mendukung argumen tersebut?

Sudah cukup bangsa Indonesia dipenjara oleh tirani kebebalan dan kebencian tanpa argumen. Sudah saatnya bangsa ini meninggalkan masa kegelapan, dan menjadi bangsa besar yang gandrung berpikir.