Rencana
Sebagian orang menyambut pergantian tahun dengan melakukan perenungan di tengah jalan pencarian makna hidupnya. Sebagian lagi melakukan perayaan, menikmati sebuah kegirangan melangkah di detik-detik pergantian waktu. Kegirangan yang seringkali terlalu rumit untuk diurai, apalagi dijelaskan. Tak sedikit juga yang hanya menatap meriahnya letusan kembang api di langit mendung dengan kepesimisan. Sedangkan saya? Saya terlalu bingung dengan cara yang mana yang harus saya ikuti, dan mengapa saya harus mengikutinya. Seperti juga dalam pergantian tahun beberapa ratus hari ke belakang, saya masih memeriahkan pergantian tahun dengan bisikan dalam hati, "Oh, sekarang tahun baru..."
Saya tentu masih ingat dengan saat-saat di mana saya --seperti juga umumnya orang-- juga turut memeriahkan pergantian tahun dengan pergi ke jalan-jalan protokol di mana orang-orang membuat keramaian. Menikmati suatu konser musik, membakar petasan, menonton kembang api, atau hanya berkumpul bersama teman di pinggir jalan menikmati bisingnya bunyi terompet dari atas parade tanpa komando ribuan kendaraan bermotor.
Setelah saya pikir, merayakan tahun baru adalah juga merayakan perulangan tahun. Dan seperti merayakan ulang tahun, mungkin semangat itulah yang ada dalam diri mereka ketika merayakan tahun baru.
Di umur 26 ini, saya berarti telah melewati dua puluh enam kali tanggal 1 Januari. Karena tanggal lahir saya berdekatan dengan tanggal 1 Januari, tak terlalu sulit menghitung berapa kali awal tahun yang telah saya lewati. Pergantian tahun seharusnya bisa selalu saya sadari, tapi ada saja saat di mana saya lupa sama sekali. Anehnya, berbeda dengan orang lain istilah seperti resolusi tahun baru tidak menjadi hal yang saya antisipasi sebelumnya. Padahal di awal masa perkuliahan dulu saya sering menulis catatan-catatan harian di sebuah buku. Meskipun tidak tertulis, saya cukup terbiasa membuat harapan, membuat rencana dan persiapan. Tapi entah kenapa kebiasaan yang berjalan sekitar dua tahun itu terhenti. Ketika renungan harian itu tak dilakukan lagi, sedikit demi sedikit kebiasaan membuat rencana-rencana juga mulai pudar.
Tidak membuat rencana bisa jadi sama artinya dengan merencanakan kegagalan (sepertinya saya pernah dengar pepatah semacam itu). Tapi itu jika kita percaya bahwa kehidupan memang berada dalam sebuah jalur mapan, dan siapa pun yang tidak berjalan di atasnya akan celaka. Atau, paling tidak akan menghadapi kehidupan yang lebih sulit.
Seorang kawan dengan sikap optimis pernah berencana akan memiliki lebih dari empat anak jika ia sudah menikah nanti (terlihat jelas betapa optimisnya kawan saya itu). Meskipun dia bisa menjalani hidupnya dengan lurus (contoh: lulus sekolah tepat waktu, bekerja dengan penghasilan tetap di atas UMR, dan seterusnya), saya tidak percaya dia mampu membesarkan anak sebanyak itu. Apalagi saya juga tahu kalau kawan saya itu punya keinginan untuk bekerja di bidang yang ia sukai: jurnalistik. Ya, ya, mungkin kawan saya itu cuma bercanda. Mungkin itu cuma lelucon yang tidak saya mengerti yang ia buat untuk menggoda pacarnya. Tapi di luar lelucon itu si kawan memang sering menceritakan rencana-rencananya dengan sangat optimis.
Membuat rencana berarti mempersiapkan langkah-langkah dengan menyandarkannya pada hal-hal yang telah ada atau diketahui sebelumnya. Sebuah rencana bisa berhasil kalau dependensi atau prasyarat dari tiap langkah sesuai dengan apa yang diduga sebelum membuat sebuah rencana. Jadi jika sebuah prasayat kemudian berubah (tidak sesuai dengan yang diduga saat membuat rencana) kemungkinan besar si rencana tidak akan berakhir sesuai dengan yang diharapkan. Rencana belum tentu akan gagal sama sekali, tapi hasil dari yang direncanakan punya kemungkinan untuk berubah.
Saya yang sulit setuju dengan "ikuti saja apa yang dilakukan orang pada umumnya" mungkin terlalu angkuh untuk percaya pada kestabilan "prasyarat-prasyarat" semacam itu. Atau, mungkin saya hanya tidak mau ikut menjalani rutinitas orang pada umumnya. Lalu tentang rencana? Saya sedang mencari prasyarat alternatifnya. Atau kalau mungkin, dibuat.
Saya tentu masih ingat dengan saat-saat di mana saya --seperti juga umumnya orang-- juga turut memeriahkan pergantian tahun dengan pergi ke jalan-jalan protokol di mana orang-orang membuat keramaian. Menikmati suatu konser musik, membakar petasan, menonton kembang api, atau hanya berkumpul bersama teman di pinggir jalan menikmati bisingnya bunyi terompet dari atas parade tanpa komando ribuan kendaraan bermotor.
Setelah saya pikir, merayakan tahun baru adalah juga merayakan perulangan tahun. Dan seperti merayakan ulang tahun, mungkin semangat itulah yang ada dalam diri mereka ketika merayakan tahun baru.
Di umur 26 ini, saya berarti telah melewati dua puluh enam kali tanggal 1 Januari. Karena tanggal lahir saya berdekatan dengan tanggal 1 Januari, tak terlalu sulit menghitung berapa kali awal tahun yang telah saya lewati. Pergantian tahun seharusnya bisa selalu saya sadari, tapi ada saja saat di mana saya lupa sama sekali. Anehnya, berbeda dengan orang lain istilah seperti resolusi tahun baru tidak menjadi hal yang saya antisipasi sebelumnya. Padahal di awal masa perkuliahan dulu saya sering menulis catatan-catatan harian di sebuah buku. Meskipun tidak tertulis, saya cukup terbiasa membuat harapan, membuat rencana dan persiapan. Tapi entah kenapa kebiasaan yang berjalan sekitar dua tahun itu terhenti. Ketika renungan harian itu tak dilakukan lagi, sedikit demi sedikit kebiasaan membuat rencana-rencana juga mulai pudar.
Tidak membuat rencana bisa jadi sama artinya dengan merencanakan kegagalan (sepertinya saya pernah dengar pepatah semacam itu). Tapi itu jika kita percaya bahwa kehidupan memang berada dalam sebuah jalur mapan, dan siapa pun yang tidak berjalan di atasnya akan celaka. Atau, paling tidak akan menghadapi kehidupan yang lebih sulit.
Seorang kawan dengan sikap optimis pernah berencana akan memiliki lebih dari empat anak jika ia sudah menikah nanti (terlihat jelas betapa optimisnya kawan saya itu). Meskipun dia bisa menjalani hidupnya dengan lurus (contoh: lulus sekolah tepat waktu, bekerja dengan penghasilan tetap di atas UMR, dan seterusnya), saya tidak percaya dia mampu membesarkan anak sebanyak itu. Apalagi saya juga tahu kalau kawan saya itu punya keinginan untuk bekerja di bidang yang ia sukai: jurnalistik. Ya, ya, mungkin kawan saya itu cuma bercanda. Mungkin itu cuma lelucon yang tidak saya mengerti yang ia buat untuk menggoda pacarnya. Tapi di luar lelucon itu si kawan memang sering menceritakan rencana-rencananya dengan sangat optimis.
Membuat rencana berarti mempersiapkan langkah-langkah dengan menyandarkannya pada hal-hal yang telah ada atau diketahui sebelumnya. Sebuah rencana bisa berhasil kalau dependensi atau prasyarat dari tiap langkah sesuai dengan apa yang diduga sebelum membuat sebuah rencana. Jadi jika sebuah prasayat kemudian berubah (tidak sesuai dengan yang diduga saat membuat rencana) kemungkinan besar si rencana tidak akan berakhir sesuai dengan yang diharapkan. Rencana belum tentu akan gagal sama sekali, tapi hasil dari yang direncanakan punya kemungkinan untuk berubah.
Saya yang sulit setuju dengan "ikuti saja apa yang dilakukan orang pada umumnya" mungkin terlalu angkuh untuk percaya pada kestabilan "prasyarat-prasyarat" semacam itu. Atau, mungkin saya hanya tidak mau ikut menjalani rutinitas orang pada umumnya. Lalu tentang rencana? Saya sedang mencari prasyarat alternatifnya. Atau kalau mungkin, dibuat.
Comments
Post a Comment