Kemalingan motor! [Sambungan]
[Akhirnya.. Sambungan!]
Sore hingga malam, saya menghabiskan waktu bersama lida, iden dan kemudian teman-teman di kosan ngobrol ngalor-ngidul. Weni, teman kosan, sempat bercerita tentang motor pacarnya yang hilang sekitar satu tahun lalu di tengah hujan besar. Motor Tiger yang diparkir di pinggir jalan Gerlong Girang itu hilang. Tak pernah ketahuan bagaimana cara maling itu menggondol si motor. Tentang siapa malingnya, lebih-lebih. Tak ada yang tahu. Tapi seingat saya, di tengah cerita Weni itu, perhatian saya tiba-tiba terpotong oleh sesuatu. Saya lupa apa. Inilah mungkin yang membuat saya tidak segera memperhatikan nasib si hitam-oranye.
Setelah cukup capek ngobrol di ruang tengah yang dingin dan berangin, sekitar jam 10 malam saya masuk ke kamar. Lida, yang saya tahu, naik ke lantai atas untuk ngobrol lagi sama anak-anak atas. Saya sendiri kemudian anteng di depan komputer, ngutak-atik kode dan desain. Kalau tidak salah saya masih di depan komputer sampai jam tiga subuh. Kemudian saya tidur.
Sekitar jam tujuh saya bangun. Saya harus pergi kuliah. Karena lupa menyentuh motor, saya pun melongok keluar pintu untuk melihat si Vega. Kebetulan, seingat saya, motor diparkir di pinggir kiri gerbang. Jadi pikir saya, setidaknya kaca spionnya bisa saya lihat dari depan kamar. Tapi, kok enggak kelihatan, ya?
Saya keluar kamar dan melangkah beberapa meter ke arah kiri berharap bisa melihatnya lebih jelas. Tapi, enggak kelihatan juga. Masih penasaran, saya maju lagi beberapa langkah, tidak ada juga! Jantung saya mulai berdebar-debar. Saya lalu berlari ke gerbang, melihat jalanan gang. Lalu melihat garasi. Di garasi tak ada satupun motor. Saya berlari ke kamar, mencari kunci. Saat itu saya masih berharap lupa, mudah-mudahan tadi pagi saya ngalindur dan tak sadar meminjamkan motor ke seorang teman. Tapi sial, kunci motor saya masih ada di kamar. Lalu saya cek dompet, mencari STNK (nah ini yang rada konyol, gak mungkin dong minjemin STNK tapi kuncinya gak dibawa). Tapi STNK-nya ada di dompet. Saya lalu bertanya ke Lida dengan panik.
"Nda, lihat motor gak?"
Lida yang baru bangun tidur bertanya kembali karena bingung.
"Motor?"
"Iya, motorku enggak ada!"
Di tengah kebingungan itu saya dan Lida berlarian ke arah gerbang. Teman-teman kosan yang mendengar keributan kami itu mulai berdatangan dan bertanya. Isti, teman depan kamar lalu memberi tahu saya kalau tadi pagi, sekitar jam 6-an, dia memang sudah tak melihat motor di depan. Dia kemudian melihat garasi karena penasaran, dan memang kosong.
Sadar bahwa inilah kedua kalinya motor saya hilang, badan langsung terasa lemas bukan main. Kepala terasa kejedut-jedut. Pening. Saya bisa melihat bintang kelap-kelip di sekitar saya. Semua terasa gelap untuk beberapa saat. Saya buru-buru masuk ke kamar dengan perasaan terkejut campur tegang, direndos pake panik, diblender pake takut, dicucuri sesal dan dipurulukan sedih. Saya hanya diam.
Teman-teman kosan hanya bisa menatap saya, bingung apa yang bisa mereka lakukan.
Atas saran teman-teman kos, siangnya saya kemudian pergi ke Polsek Sukasari untuk melaporkan kehilangan. Tapi mereka memberi saya kabar pahit. Mustinya saya langsung melapor ketika saya tahu motor itu hilang. Mereka bilang, kemungkinan untuk bisa mendapatkan motor itu kembali sangat kecil. Sekarang yang bisa dilakukan hanya mencoba mendapatkan uang asuransi motor, siapa tahu bisa dipakai untuk ngredit motor baru.
Saya akhirnya bisa mendapatkan uang asuransi untuk si hitam-oranye yang hilang itu, walaupun dengan potongan biaya administrasi dan ini-itu yang hampir setengahnya.
Sekarang di garasi ada motor kreditan baru yang sampai saat ini mendapat perhatian penuh. Lebih dari si hitam-oranye. Kemana-mana, kalau markirin motor, saya mirip orang yang paranoid. Saya selalu pastikan kalau motor sudah dikunci ganda (depan dan belakang), dan dikunci stang. Saya juga selalu rewel ke teman-teman yang pinjam motor.
“Jangan lupa kunci ganda.”
“Tong poho konci setangna, nya.”
“Omat, tong poho gembok cakramna.”
Ya, setelah kejadian pahit itu saya cuma bisa berharap perhatian saya sama si motor tidak menurun. Tapi selain itu, saya sering merenung. Lucu, ya. Saya sering memeras perhatian dan tenaga saya begitu hebatnya untuk membela habis-habisan agar si motor tetap aman dari pencuri. Malah seringkali, lagi ada acara jalan-jalan malah tertekan karena terus mikirin motor. Begitu hebatnyakah motor sebagai materi sampai harus dibela mati-matian? Ah, tapi, memang konyol juga kalau hanya bersikap cuek, parkir seenaknya, cukup kunci stang dan berpasrah pada Allah yang Maha Melindungi. Bagi saya, renungi saja dan buat sebagai pelajaran. Yang pahit!
Sore hingga malam, saya menghabiskan waktu bersama lida, iden dan kemudian teman-teman di kosan ngobrol ngalor-ngidul. Weni, teman kosan, sempat bercerita tentang motor pacarnya yang hilang sekitar satu tahun lalu di tengah hujan besar. Motor Tiger yang diparkir di pinggir jalan Gerlong Girang itu hilang. Tak pernah ketahuan bagaimana cara maling itu menggondol si motor. Tentang siapa malingnya, lebih-lebih. Tak ada yang tahu. Tapi seingat saya, di tengah cerita Weni itu, perhatian saya tiba-tiba terpotong oleh sesuatu. Saya lupa apa. Inilah mungkin yang membuat saya tidak segera memperhatikan nasib si hitam-oranye.
Setelah cukup capek ngobrol di ruang tengah yang dingin dan berangin, sekitar jam 10 malam saya masuk ke kamar. Lida, yang saya tahu, naik ke lantai atas untuk ngobrol lagi sama anak-anak atas. Saya sendiri kemudian anteng di depan komputer, ngutak-atik kode dan desain. Kalau tidak salah saya masih di depan komputer sampai jam tiga subuh. Kemudian saya tidur.
Sekitar jam tujuh saya bangun. Saya harus pergi kuliah. Karena lupa menyentuh motor, saya pun melongok keluar pintu untuk melihat si Vega. Kebetulan, seingat saya, motor diparkir di pinggir kiri gerbang. Jadi pikir saya, setidaknya kaca spionnya bisa saya lihat dari depan kamar. Tapi, kok enggak kelihatan, ya?
Saya keluar kamar dan melangkah beberapa meter ke arah kiri berharap bisa melihatnya lebih jelas. Tapi, enggak kelihatan juga. Masih penasaran, saya maju lagi beberapa langkah, tidak ada juga! Jantung saya mulai berdebar-debar. Saya lalu berlari ke gerbang, melihat jalanan gang. Lalu melihat garasi. Di garasi tak ada satupun motor. Saya berlari ke kamar, mencari kunci. Saat itu saya masih berharap lupa, mudah-mudahan tadi pagi saya ngalindur dan tak sadar meminjamkan motor ke seorang teman. Tapi sial, kunci motor saya masih ada di kamar. Lalu saya cek dompet, mencari STNK (nah ini yang rada konyol, gak mungkin dong minjemin STNK tapi kuncinya gak dibawa). Tapi STNK-nya ada di dompet. Saya lalu bertanya ke Lida dengan panik.
"Nda, lihat motor gak?"
Lida yang baru bangun tidur bertanya kembali karena bingung.
"Motor?"
"Iya, motorku enggak ada!"
Di tengah kebingungan itu saya dan Lida berlarian ke arah gerbang. Teman-teman kosan yang mendengar keributan kami itu mulai berdatangan dan bertanya. Isti, teman depan kamar lalu memberi tahu saya kalau tadi pagi, sekitar jam 6-an, dia memang sudah tak melihat motor di depan. Dia kemudian melihat garasi karena penasaran, dan memang kosong.
Sadar bahwa inilah kedua kalinya motor saya hilang, badan langsung terasa lemas bukan main. Kepala terasa kejedut-jedut. Pening. Saya bisa melihat bintang kelap-kelip di sekitar saya. Semua terasa gelap untuk beberapa saat. Saya buru-buru masuk ke kamar dengan perasaan terkejut campur tegang, direndos pake panik, diblender pake takut, dicucuri sesal dan dipurulukan sedih. Saya hanya diam.
Teman-teman kosan hanya bisa menatap saya, bingung apa yang bisa mereka lakukan.
Atas saran teman-teman kos, siangnya saya kemudian pergi ke Polsek Sukasari untuk melaporkan kehilangan. Tapi mereka memberi saya kabar pahit. Mustinya saya langsung melapor ketika saya tahu motor itu hilang. Mereka bilang, kemungkinan untuk bisa mendapatkan motor itu kembali sangat kecil. Sekarang yang bisa dilakukan hanya mencoba mendapatkan uang asuransi motor, siapa tahu bisa dipakai untuk ngredit motor baru.
Saya akhirnya bisa mendapatkan uang asuransi untuk si hitam-oranye yang hilang itu, walaupun dengan potongan biaya administrasi dan ini-itu yang hampir setengahnya.
Sekarang di garasi ada motor kreditan baru yang sampai saat ini mendapat perhatian penuh. Lebih dari si hitam-oranye. Kemana-mana, kalau markirin motor, saya mirip orang yang paranoid. Saya selalu pastikan kalau motor sudah dikunci ganda (depan dan belakang), dan dikunci stang. Saya juga selalu rewel ke teman-teman yang pinjam motor.
“Jangan lupa kunci ganda.”
“Tong poho konci setangna, nya.”
“Omat, tong poho gembok cakramna.”
Ya, setelah kejadian pahit itu saya cuma bisa berharap perhatian saya sama si motor tidak menurun. Tapi selain itu, saya sering merenung. Lucu, ya. Saya sering memeras perhatian dan tenaga saya begitu hebatnya untuk membela habis-habisan agar si motor tetap aman dari pencuri. Malah seringkali, lagi ada acara jalan-jalan malah tertekan karena terus mikirin motor. Begitu hebatnyakah motor sebagai materi sampai harus dibela mati-matian? Ah, tapi, memang konyol juga kalau hanya bersikap cuek, parkir seenaknya, cukup kunci stang dan berpasrah pada Allah yang Maha Melindungi. Bagi saya, renungi saja dan buat sebagai pelajaran. Yang pahit!
Comments
Post a Comment