Mungkinkah dominasi ilmu pengetahuan berubah?
Ulasan KOMPAS tentang dominasi Amerika Serikat dalam meraih Nobel bidang sains 2006 sepertinya pantas untuk diperhatikan. Yang tidak saya sadari sebelumnya adalah, mengapa --seperti ditulis Ninok Leksono dalam artikel tersebut-- tidak ada warga negara Eropa atau Jepang yang turut 'mencicipi' nobel bidang sains? Bukankah kedua negara tersebut (khususnya Jepang) telah lama kita kenal sebagai negara-negara yang mampu melakukan inovasi-inovasi mutakhir dalam teknologi?
Kalau mau ngomong tentang Indonesia, kayanya akan bikin kita sakit hati. Kenapa? Karena, Ninok berpendapat bahwa salah satu alasan mengapa Amerika bisa sebegitu 'maju' dalam bidang sains tidak terlepas dari komitmen dan ambisi Amerika dalam menjadi front liner dalam bidang ilmu pengetahuan (khususnya ilmu pasti).
Jika kita mau berkilah, rasanya rasanya kita harus mencari alasan selain membela diri dengan mengatakan "orang Barat kan memang sudah pinter dari sananya". Faktanya, ada orang-orang muda Indonesia yang mampu meraih medali emas dalam ajang kompetisi sains internasonal. Septinus George Saa dari Papua adalah salah satunya. Oge, sebutan akrab Septinus, berhasil meraih medali emas pada kontes Fisika tahunan "First Step to a Nobel Prize in Physics".
Itu artinya, Indonesia juga memiliki potensi yang tidak bisa diremehkan untuk berkompetisi dengan negara-negara Barat. Rasa rendah diri bahwa orang Asia memang ditakdirkan "terbelakang" juga harus dibuang jauh-jauh. Google, provider search engine terpopuler itu bahkan secara khusus menggelar Google Code Jam India, sebuah ajang unjuk kemampuan modifikasi kode bahasa pemrograman untuk wilayah India (selain tingkat Global dan Eropa). Google bahkan sampai merasa perlu untuk membuka kantor perwakilan di Bangalore, India (kota ini disebut-sebut sebagai Silicon Valley-nya Asia). Ini merupakan secuil bukti bahwa India secara khusus telah menjadi sorotan negara maju dalam hal teknologi.
The point is, dominasi Amerika atau negara-negara Utara dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan bukan tidak mungkin akan berubah. Kita punya potensi itu. Hanya saja (mungkin) kurang didukung optimisme, komitmen dan modal!
Kalau mau ngomong tentang Indonesia, kayanya akan bikin kita sakit hati. Kenapa? Karena, Ninok berpendapat bahwa salah satu alasan mengapa Amerika bisa sebegitu 'maju' dalam bidang sains tidak terlepas dari komitmen dan ambisi Amerika dalam menjadi front liner dalam bidang ilmu pengetahuan (khususnya ilmu pasti).
Jika kita mau berkilah, rasanya rasanya kita harus mencari alasan selain membela diri dengan mengatakan "orang Barat kan memang sudah pinter dari sananya". Faktanya, ada orang-orang muda Indonesia yang mampu meraih medali emas dalam ajang kompetisi sains internasonal. Septinus George Saa dari Papua adalah salah satunya. Oge, sebutan akrab Septinus, berhasil meraih medali emas pada kontes Fisika tahunan "First Step to a Nobel Prize in Physics".
Itu artinya, Indonesia juga memiliki potensi yang tidak bisa diremehkan untuk berkompetisi dengan negara-negara Barat. Rasa rendah diri bahwa orang Asia memang ditakdirkan "terbelakang" juga harus dibuang jauh-jauh. Google, provider search engine terpopuler itu bahkan secara khusus menggelar Google Code Jam India, sebuah ajang unjuk kemampuan modifikasi kode bahasa pemrograman untuk wilayah India (selain tingkat Global dan Eropa). Google bahkan sampai merasa perlu untuk membuka kantor perwakilan di Bangalore, India (kota ini disebut-sebut sebagai Silicon Valley-nya Asia). Ini merupakan secuil bukti bahwa India secara khusus telah menjadi sorotan negara maju dalam hal teknologi.
The point is, dominasi Amerika atau negara-negara Utara dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan bukan tidak mungkin akan berubah. Kita punya potensi itu. Hanya saja (mungkin) kurang didukung optimisme, komitmen dan modal!
Comments
Post a Comment