Kita butuh ambisi!

Beberapa waktu yang lalu, saya nonton film Shattered Glass, film dari Lions Gate Films. Seorang teman merekomendasikan film itu karena "tentang jurnalis kampus", katanya. Akhirnya, bersama Lida saya nonton film itu.

Shattered Glass bercerita tentang perjalanan penuh ambisi Stephen Glass, si tokoh utama cerita dalam karir di bidang jurnalisme. Glass yang merupakan seorang mantan redaktur eksekutif (atau redaktur pelaksana kali ya?) surat kabar mahasiswa The Daily Pennsylvanian, semakin tertarik pada jurnalisme ketika pada saat itu (paruh akhir tahun 90-an) jurnalisme politik nasional Amerika Serikat sedang hangat-hangatnya.

Singkat kata, Glass akhirnya berhasil masuk ke majalah The New Republic --sebuah majalah politik yang cukup disegani di kalangan pejabat tinggi negara AS--. Dalam waktu singkat, Glass bisa menjadi salah sosok yang cukup disenangi di kalangan awak redaksi TNR, dan bukan hanya karena kepribadiannya yang ramah, Glass juga disenangi karena ide-ide liputannya yang segar dan "patut diperhitungkan".

Ditengah kesibukannya pada kegiatan redaksi TNR, Glass digambarkan sebagai jurnalis yang "diinginkan" banyak media. Hampir setiap hari, dering telepon dari berbagai media cetak tak berhenti berdering untuknya, membuat banyak rekan kerjanya simpatik sekaligus mengaguminya.

Namun petualangan jurnalisme Glass tak bisa berjalan lebih jauh. Ketika artikel Glass berjudul "Hack Heaven" yang berkisah tentang seorang hacker remaja yang berhasil menembus sistem keamanan sebuah perusahaan piranti lunak bernama Jukt Micronics diterbitkan TNR pada edisi 18 Mei 1998, kebusukan Glass akhirnya terungkap.

Adalah Adam Penenberg dari Forbes Digital Tool yang pertama kali mengendus adanya ketidakberesan dalam "Hacker Heaven". Setelah melakukan riset menggunakan internet dan memeriksa kembali data-data yang ada dalam artikel Glass, Adam berkesimpulan bahwa "Hack Heaven" adalah cerita bohong, artikel waduk!

Glass mengelak bahwa dirinya memalsukan data-data dalam artikelnya. Glass bahkan membuat sebuah webpage fiktif untuk membuktikan bahwa situs perusahaan Jukt Micronics memang ada.

Singkat kata, editor Charles Lane akhirnya memutuskan untuk memecat Glass dari TNR. Lane menduga, masih banyak artikel lain yang ditulis Glass dalam banyak edisi TNR sebelumnya yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Ternyata memang begitulah, lusinan artikel yang ditulis Glass ternyata lagi-lagi waduk! Glass pun mengakuinya.

Wuah, hebaaat...
Lalu, apa cerita moralnya? What's the moral of the story?

Glass menunjukkan ambisinya dalam bidang jurnalisme dengan mengarang cerita-cerita bohong. Itu faktanya. Glass juga bisa sedemikian cerdiknya dalam mengelabui tim fact-check TNR sehingga artikel-artikelnya tersebut bisa lolos seleksi dan diterbitkan. Tapi Glass juga berusaha begitu kerasnya untuk menjadi seorang jurnalis unggul. Glass mampu menulis artikel-artikel bagus. Sayangnya, Glass cuma berkhayal. Glass mungkin bisa menjadi sukses dalam penulisan cerpen, atau novel, tapi tidak dalam dunia jurnalistik. Seorang Glass dalam dunia jurnalistik adalah racun dalam sekam.. Hah!

Di dalam dunia media Amerika Serikat, Stephen Glass memang bukanlah jurnalis bohongan satu-satunya. Dan jurnalis bohongan lainnya mungkin akan terungkap kemudian. Yang menarik adalah, ada orang-orang semacam Glass yang bersedia bekerja keras demi karir jurnalistiknya. Jika saja banyak penggiat pers Indonesia yang punya ambisi sekuat Glass (ditambah moral jurnalisme), mungkin media Indonesia bisa menjadi semakin berkualitas.

Faktanya, memang sulit untuk membuat artikel yang baik, apalagi mencari ide-ide segar. Dan Glass membuktikan bahwa dia memiliki ide dan keterampilan untuk itu. Sayangnya, malas reportase kali ye, jadinya waduk..

Bisa jadi ini sisi buruk dari jurnalisme narasi. Bisa jadi.

Berkaca pada "Shattered Glass", sepertinya kita memang butuh ambisi. Ambisi membangun media tanah air yang berkualitas!

Yeah, why not!