(hampir) pingsan!
Kemarin siang, aku ikut donor darah untuk yang pertama kalinya (seumur hidup). Betapa melegakan sekali. Jujur saja, aku merasa sangat hebat. Hebat karena berani merelakan darahku. Aku bangga.
Tadinya, sama sekali tidak ada niatan untuk ikut dalam acara donor darah yang rutin digelar kawan-kawan KSR PMI UPI (Kelompok Suka Rela Palang Merah Indonesia - Universitas Pendidikan Indonesia) itu. Niat spontan itu terjadi ketika salah seorang kawan, Dian Malensko, mendaftarkan diri untuk menjadi donor. Aku yang berbincang-bincang bersama Adam, saling bermuka ngeri membayangkan sakitnya ditusuk jarum infus dan sakitnya denyut darah yang mengalir keluar tubuh... Kami tertawa-tawa, membayangkan lucunya tubuh Malensko yang agak kurus itu terhuyung-huyung kemudian tergelepak di lantai karena kekurangan darah setelah "dikuras" selama hampir setengah jam di atas ranjang. Hah..
Tiba-tiba pada percakapan yang kami lanjutkan di sekretariat kami, terlontar ide "gila". "Dam, urang ngiluan donor darah yu!!"
Dengan dada yang berdebar-debar, kami pun berjalan bersama ke arah pintu utama Gedung PKM UPI untuk mendaftarkan diri. Singkatnya aku pun mendapat giliran "dikuras", setelah hampir satu jam Adam turun dari ranjang donor dengan wajahnya yang memelas.
Jarum itu ditusukkan ke lipatan lengan sebelah kiri, tentunya setelah urat nadi yang dituju benar-benar siap. Sakit memang, tapi setelah agak lama lengan kiriku mulai tak merasakannya lagi.
Setelah aku beres "dikuras", aku pun turun dari ranjang. Rasa pusing sesaat aku rasakan di ranjang tadi tak terasa lagi. Paling tidak untuk sekitar lima detik. Karena setelah aku tinggalkan ranjang itu beberapa langkah saja, tubuhku terasa aneh, rasa mual mulai memenuhi perutku. Badanku terasa dingin, dan keringat dingin memang mulai mengucur di seluruh muka dan leherku. Tiba-tiba seluruh pandangan terasa sangat terang. "SIAL, KAYANYA AKU MAU PINGSAN!" Untung, aku hanya setengah langkah saja dari sebuah sofa bundar. Aku pun bersenderan di sana sambil mencoba untuk tidak kehilangan kesadaran.
Seorang petugas donor yang melihat keadaanku kemudian mendekati sambil bertanya, "Kenapa, mas?" "Pusing," kataku. Ia pun menyuruhku untuk tiduran, sambil mengganjal kakiku dengan sebuah kotak, supaya posisinya leih tinggi dari badan dan kepalaku. Tapi rasa mual dan dingin semakin menjadi. Kedua tangan, kaki, sampai bibirku dengan cepat kesemutan. Rasanya seperti ada gelembung-gelembung soda di seluruh tubuhku. Aku panik dalam hati. "Anjir, aing rek paeh kitu?!"
Seorang dokter memeriksaku. Melihat keadaanku, Ia dan seorang petugas memijit-mijit tangan dan kakiku, mencoba untuk membuat badanku yang dingin kembali hangat. Ia menyuruhku membuka dan mengepal telapak tanganku yang terasa hampir beku. Seluruh badanku terasa pegal. Aku yakin aku hanya punya sedikit saja sisa tenaga, dan aku bersusah payah membuka dan mengepal kedua tanganku. Aku tahu aku harus membuat tubuhku kembali hangat. "Aku tak mau mati sekarang," teriakku dalam hati.
Akhirnya tubuhku berangsur hangat. Si dokter memberiku teh manis hangat. Aku meminumnya setengah. Aku berbaring lagi, menghabiskan sisa teh manis itu dan kembali berbaring. "Anjir, gengsi euy urang kudu tepar siga kieu mah," bisikku pada diri sendiri.
Ternyata aku belum harus mati. Aku ambil jatah makanan kecil, Pocari Sweat (dokter memberiku dua kaleng, katanya aku memerlukannya), dan kembali ke sekretariat. Aku malu, aku merasa diriku (selama ini) cukup kuat. Aku tahu aku tak pernah berolah raga, dan tadi pagi aku tak sarapan dulu (yang ini sih karena memang bukan kebiasaan dan kebetulan lagi gak punya duit). Mungkin juga karena malamnya tak cukup istirahat.
I know I have to write this down on my blog, cause yesterday is a "once in a lifetime" moment after all...
Tadinya, sama sekali tidak ada niatan untuk ikut dalam acara donor darah yang rutin digelar kawan-kawan KSR PMI UPI (Kelompok Suka Rela Palang Merah Indonesia - Universitas Pendidikan Indonesia) itu. Niat spontan itu terjadi ketika salah seorang kawan, Dian Malensko, mendaftarkan diri untuk menjadi donor. Aku yang berbincang-bincang bersama Adam, saling bermuka ngeri membayangkan sakitnya ditusuk jarum infus dan sakitnya denyut darah yang mengalir keluar tubuh... Kami tertawa-tawa, membayangkan lucunya tubuh Malensko yang agak kurus itu terhuyung-huyung kemudian tergelepak di lantai karena kekurangan darah setelah "dikuras" selama hampir setengah jam di atas ranjang. Hah..
Tiba-tiba pada percakapan yang kami lanjutkan di sekretariat kami, terlontar ide "gila". "Dam, urang ngiluan donor darah yu!!"
Dengan dada yang berdebar-debar, kami pun berjalan bersama ke arah pintu utama Gedung PKM UPI untuk mendaftarkan diri. Singkatnya aku pun mendapat giliran "dikuras", setelah hampir satu jam Adam turun dari ranjang donor dengan wajahnya yang memelas.
Jarum itu ditusukkan ke lipatan lengan sebelah kiri, tentunya setelah urat nadi yang dituju benar-benar siap. Sakit memang, tapi setelah agak lama lengan kiriku mulai tak merasakannya lagi.
Setelah aku beres "dikuras", aku pun turun dari ranjang. Rasa pusing sesaat aku rasakan di ranjang tadi tak terasa lagi. Paling tidak untuk sekitar lima detik. Karena setelah aku tinggalkan ranjang itu beberapa langkah saja, tubuhku terasa aneh, rasa mual mulai memenuhi perutku. Badanku terasa dingin, dan keringat dingin memang mulai mengucur di seluruh muka dan leherku. Tiba-tiba seluruh pandangan terasa sangat terang. "SIAL, KAYANYA AKU MAU PINGSAN!" Untung, aku hanya setengah langkah saja dari sebuah sofa bundar. Aku pun bersenderan di sana sambil mencoba untuk tidak kehilangan kesadaran.
Seorang petugas donor yang melihat keadaanku kemudian mendekati sambil bertanya, "Kenapa, mas?" "Pusing," kataku. Ia pun menyuruhku untuk tiduran, sambil mengganjal kakiku dengan sebuah kotak, supaya posisinya leih tinggi dari badan dan kepalaku. Tapi rasa mual dan dingin semakin menjadi. Kedua tangan, kaki, sampai bibirku dengan cepat kesemutan. Rasanya seperti ada gelembung-gelembung soda di seluruh tubuhku. Aku panik dalam hati. "Anjir, aing rek paeh kitu?!"
Seorang dokter memeriksaku. Melihat keadaanku, Ia dan seorang petugas memijit-mijit tangan dan kakiku, mencoba untuk membuat badanku yang dingin kembali hangat. Ia menyuruhku membuka dan mengepal telapak tanganku yang terasa hampir beku. Seluruh badanku terasa pegal. Aku yakin aku hanya punya sedikit saja sisa tenaga, dan aku bersusah payah membuka dan mengepal kedua tanganku. Aku tahu aku harus membuat tubuhku kembali hangat. "Aku tak mau mati sekarang," teriakku dalam hati.
Akhirnya tubuhku berangsur hangat. Si dokter memberiku teh manis hangat. Aku meminumnya setengah. Aku berbaring lagi, menghabiskan sisa teh manis itu dan kembali berbaring. "Anjir, gengsi euy urang kudu tepar siga kieu mah," bisikku pada diri sendiri.
Ternyata aku belum harus mati. Aku ambil jatah makanan kecil, Pocari Sweat (dokter memberiku dua kaleng, katanya aku memerlukannya), dan kembali ke sekretariat. Aku malu, aku merasa diriku (selama ini) cukup kuat. Aku tahu aku tak pernah berolah raga, dan tadi pagi aku tak sarapan dulu (yang ini sih karena memang bukan kebiasaan dan kebetulan lagi gak punya duit). Mungkin juga karena malamnya tak cukup istirahat.
I know I have to write this down on my blog, cause yesterday is a "once in a lifetime" moment after all...
Atuda anak mamih donor darah hihihih...
ReplyDelete